Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy
Page ini adalah sebuah platform untuk mempromosikan kesadaran keberagaman dan semangat penghargaan t
Gerakan Kultural Moderasi Beragama dan Tantangan Kebebebasan Beragama (Tribun Timur, 8 Maret 2024)
Sejak tahun 2016, era di mana Kementerian Agama di bawah komando Dr. (H.C.) K.H. Lukman Hakim Saifuddin, wacana dan gagasan moderasi beragama mulai digulirkan. Hal itu bahkan menjadi bagian dari awal sebuah kampanye panjang tentang moderasi beragama di Indonesia. Masih di bawah Lukman Hakim, tahun 2019 kemudian ditetapkan sebagai Tahun Moderasi Beragama. Di tahun yang sama p**a Kementerian Agama menerbitkan buku Moderasi Beragama. Sebuah buku bacaan “wajib” untuk memahami apa sebenarnya konsep moderasi beragama yang dimaksudkan oleh Kementerian Agama.
Kampanye moderasi beragama terus berlanjut meski kepemimpinan di Kementerian Agama berubah. Saat Menteri Agama berganti, baik oleh Jenderal TNI (Purn.) H. Fachrul Razi, S.I.P., S.H., M.H. hingga K.H. Yaqut Cholil Qoumas, kampanye Moderasi beragama tetap berjalan. Moderasi Beragama bahkan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 -2024. Tidak heran jika kemudian kampanye moderasi beragama ini menjadi begitu massif dilaksanakan terutama di lembaga-lembaga di bawah naungan Kementerian Agama.
Meski demikian, penerimaan moderasi beragama tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan. Meski secara nilai dan gagasan moderasi beragama diyakini dibutuhkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, namun ada resistensi dari kelompok yang melihat kampanye moderasi beragama sebagai produk Barat sekaligus sebuah gerakan yang dibangun untuk melemahkan agama tertentu.
Hastag yang pernah viral di media sosial Twitter (kini disebut X) adalah salah satu bukti bagaimana resistensi atas gerakan ini. Moderasi beragama dianggap sebagai produk Barat yang ingin melemahkan ummat Islam. Moderasi beragama dilihat sebagai kelanjutan dari gerakan “liberalisme” dan “pluralisme.” Selain itu, Moderasi Beragama juga diyakini sebagai sebuah upaya sistematis untuk mengubah agama atau upaya agar masyarakat Indonesia “Berislam sesuai Keinginan Barat.” Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan konsepsi moderasi beragama yang dibangun Kementerian Agama itu sendiri mengingat bahwa moderasi beragama bukanlah program yang hanya menfokuskan pada satu agama tertentu.
Catatan Kritis atas Moderasi Beragama
Pada sisi lain, catatan kritis atas program moderasi beragama dilancarkan oleh para akademisi. Dalam buku Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama; Suatu Tinjauan Kritis (2022) disebutkan bahwa meski dipahami bahwa kemunculan moderasi beragama dikarenakan adanya dua konteks besar terdekat yakni menguatnya aksi-aksi terorisme dan politisasi agama namun dikhawatirkan bahwa moderasi beragama bisa saja bentuk lain dari politik agama yang dilakukan oleh negara untuk mengatur agama (governing religion) atau bahkan “menjinakkan” agama.
Kekhawatirannya adalah, jika kemudian moderasi beragama justru menjadikan negara ingin mengambil posisi tafsir agama dan menjadikan moderasi beragama menjadi model beragama yang resmi yang mendapat restu dari Pemerintah. Turut campur negara dalam mengambil tafsir agama menjadikan negara kehilangan netralitas. Dan jika hal ini terjadi, maka seringkali yang menjadi korban adalah kelompok minoritas yang tafsir keagamaannya terkadang dianggap “salah” atau “menyimpang.” Padahal isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menjadi sangat penting dan hal tersebut jelas tertuang dalam Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Dalam bentuk yang lebih jauh, dikhawatirkan bahwa gerakan moderasi beragama justru pada akhirnya memberikan ancaman pada kebebasan beragama. Dengan dalih moderasi beragama, maka kelompok yang dianggap berbeda kemudian justru dipersekusi dan hal itu justru bertentangan dengan indikator moderasi beragama yakni toleransi. Apalagi jika moderasi beragama justru menjadi ideologi baru yang tertutup dan tidak memberikan ruang bagi yang berbeda. Jika demikian, moderasi beragama akan tergelincir sebagai bentuk baru dari Repressive Pluralism. Pluralisme yang represif sendiri adalah istilah yang digunakan Prof. Greg Fealy dalam menjelaskan rekayasa sosial berskala besar yang dilakukan negara di masa kepemimpinan Presiden Jokowi dalam menekan kelompok Islamis (Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State; 2020). Maka tidak heran jika moderasi beragama diharapkan tidak menjadi sebuah konsep dan ideologi tertutup.
Sebagai sesuatu yang diyakini memiliki niat yang baik dan sejalan dengan warna keberagamaan di Indonesia, moderasi beragama hendaknya menjadi sebuah diskurus yang yang perlu untuk diperbincangkan agar supaya moderasi beragama berada pada jalurnya untuk membangun semangat keberagaman yang terbuka dan menghargai perbedaan. Sebagaimana penjelasannya bahwa, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama (Moderasi Beragama, 2019)
Gerakan Kultural Moderasi Beragama
Dalam buku Moderasi Beragama (2019) yang diterbitkan Kementerian Agama, disebutkan bahwa penguatan moderasi beragama ini dilakukan dengan tiga strategi utama, yakni: pertama, sosialisasi gagasan, pengetahuan, dan pemahaman tentang moderasi beragama kepada seluruh lapisan masyarakat; kedua pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat; dan ketiga, integrasi rumusan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20202024.
Ketiga hal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah. Hal tersebut terlihat jelas dari banyaknya kegiatan-kegaiata yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama dan juga berbagai bentuk lembaga yang dibentuk sebagai upaya menjadikan moderasi beragama semakin banyak dipahami oleh masyarakat.
Sebagai sesuatu yang baik, harapannya adalah moderasi beragama sebaiknya dibangun menjadi sebuah gerakan kultural. Sebuah gerakan kesadaran bahwa moderasi beragama ini memang dibutuhkan dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Tentu berbeda jika moderasi beragama dilihat dan disebarkan sebagai sebuah gerakan dengan berbasis proyek. Mereka yang terlibat dalam gerakan ini tentu saja hanya mereka yang mendapatkan jatah proyek tersebut. Jika gagasan moderasi beragama terpaku pada gerakan berbasis proyek, tidak dilihat sebagai sebuah gerakan kultural, maka pembicaraan tentang moderasi beragama dikhawatirkan hanya berakhir pada ruang-ruang seminar ataupun training-training. Lantas, bagaimana gagasan ini bisa sampai ke akar rumput.
Moderasi beragama diharapkan dapat menjadi gerakan kesadaran tentang pentingnya ruag beragama dibangun dengan semangat saling menghargai (toleran) dan tidak menggunakan kekerasan atas mereka yang berbeda iman. Hal ini penting karena Indonesia adalah negara dengan takdir keberagaman agama. Meski diinisiasi negara, moderasi beragama diharapkan menjadi sebuah gerakan kultural yang dipikul dan diusahakan bersama, dari lapis atas hingga lapis bawah tentang pentingnya menghargai iman yang berbeda agama tanpa harus menekan kebebasan beragama.
Wallahu A’lam bi Asshwwab
Beriman Pada Kemanusiaan (Tribun Timur, 9 Februari 2024)
Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Demikian salah satu petikan ucapan Ali Abi Thalib yang sangat fenomenal. Sebuah ucapan yang merefleksikan bagaimana sesungguhnya manusia disatukan dalam sebuah konsep yang bernama kemanusiaan.
Tentu setiap manusia yang terlahir ditakdirkan dengan identitas yang berbeda-beda. Identitas suku, budaya, agama, ras, ataupun kewarganegaraan. Identitas yang berbeda itu menjadikan manusia seringkali mendefinisikan diri mereka berbeda dengan yang lain. Identitas adalah penciri diri seseorang.
Sayangnya, indetitas bukan hanya menjadi sebuah entitas yang dibangun untuuk menunjukkan siapa diri kita, namun juga, seringkali (bahkan elakanya) dibangun untuk memisahkan dan membedakan kita dengan yang lain. Lebih dari itu, identitas terkadang membawa manusia pada perasaan jumawa dan merasa bahwa identitasnya lebih superior di atas identitas yang lain.
Tentu yang paling celaka adalah di saat identitas itu justru menjadikan manusia saling memusuhi dan bahkan menjadi legitimasi atas pertumpahan atas identitas lainnya yang berbeda. Sebut saja agama.
Bagi para penganut agama, agama di tempatkan pada posisi suci di mana ajarannya diyakini datang dari Sang Kuasa. Ajaran itu diyakini berisi ajaran kesucian yang akan menghantarkan pemeluknya pada kebaikan. Maka tidak heran jika ada banyak penganut agama yang begitu meyakini bahwa agama adalah soslusi. Agama tidak menghadirkan perang, sebaliknya agama adalah solusi atas perang.
Tapi apakah benar demikian. Akan naif kalau mengatakan bahwa agama hanya menghadirkan kedamaian dan tidak mencipta tensi. Tentu, dalam banyak kasus agama sengkali menjadi korban karena digunakan sebagai alat dalam sebuah konflik yang pada sesungguhnya adalah konflik ekonomi ataupun politik. Namun pada sisi lain kita pun harus menyadiri bahwa ada orang-orang yang dengan keyakinan agamanya memiliki kebencian atas identitas yang lain.
Saat agama hanya dijadikan sebagai perangkat identitas, maka agama memiki potensi untuk menjadi bagian dari sebuah konflik. Lambat laun agama hanya akan berubah menjadi sebuah institusi bukan lagi sebagai sebuah kompas moral dalam hidup.
Harari (2019) menyinggung hal ini dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st Century Baginya, Agama di abad ke-21 tidak mendatangkan hujan, tidak menyembuhkan penyakit, tidak membuat bom. Akan tetapi, agama sangat menentukan siapa 'kita' dan siapa 'mereka', siapa yang harus kita sembuhkan dan siapa yang harus kita bom. Kebanyakan agama mempunyai banyak kesamaan, namun sering kali agama-agama ini dijadikan senjata untuk menciptakan perpecahan dan konflik.
Pada posisi tersebut, maka penting untuk kembali menyadari identitas komunal yang dibangun bersama. Identitas yang menempatkan diri kita pada posisi sama rata. Identitas yang melebihi sekat identitas-identitas kecil lainnya. Identitas dengan I (baca; huruf I) besar. Identitas sebagai seorang manusia.
Kesadaran akan identitas manusia sebagai identitas bersama menjadikan kita harus bersama menjunjung tinggi semangat kemanusiaan. Bahwa tidak ada manusia yang lebih dibanding yang lainnya hanya karena perbedaan identitas kecil yang mengikatnya.
Kembali mengimani kemanusiaan.
Setidaknya ada dua gagasan besar tentang kemanusiaan. Apakah manusia sejatinya adalah makhluk dengan semangat kebencian yang besar atau manusia pada umumnya adalah mahluk yang baik. Pertanyaan yang sama ini diajukan oleh Rutger Bergman (2020) dalam bukunya, Humankind: A Hopeful History. Apakah kita spesis yang baik hati atau sebaliknya spesis yang paling kejam di muka bumi? Bagi Bergman, manusia pada dasarnya baik. Meskipun pada akhirnya kita merasa akan lebih dekat ke yang paling mirip dengan kita. Mirip secara ideologi, agama, ras ataupun identitas-identitas lainnya.
Senada dengan itu, Jonathan Haidt (2012) dalam bukunya, The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion menyebut bahwa manusia selayaknya hewan lain yang merupakan mahluk sosial. Namun, kebutuhan manusia untuk berkelompok jauh lebih tinggi. Manusia, lebah dan semut adalah mahluk yang ultrasosial. Saat mengidentifikasi mereka bagian dari kelompok itulah, manusia cenderung untuk membela kelompok identitasnya.
Ini yang kemudian pada akhirnya mendominasi. Muncul “orang-orang baik” yang hanya baik pada kelompoknya, namun bisa berlaku di luar nalar atas kelompok yang lainnya. Orang-orang yang sangat menentang kekerasan dan kekejaman namun juga ikut bertepuk tangan saat kekerasan dan kekejaman itu terjadi pada kelompok lain yang berbeda. Mengutuk perang, mendaku diri humanis namun tidak sadar ikut begembira saat kelompok yang dianggap lawannya mati sebagai korban.
Saat ini, kita menyaksikan parade anti kemanusiaan di banyak tempat di dunia dengan dalih menjaga dan mempertahanan kelompoknya. Perang tak terelakkan dan banyak manusia tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa yang menjadi korbannya.
Meski Yuval Noah Harari (2019) dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st Century telah mengingatkan bahwa perang di abad 21 tidak akan memberikan kesuksesan sebagaimana kesuksesan perang yang dulu dianggap memberikan kontribusi pada kemakmuran ekonomi dan politik. Berbeda dengan masa lalu, di masa para penakluk hebat, di mana perang adalah perkara yag rendah kerusakan dengan keuntungan besar. Di era saat ini, di era nuklir dan perang siber, perang tak lebih dari sebuah perkara yang mencipta kerusakan besar namun sedikit keuntungan. Pun demikian, perang tetap saja bisa terjadi karena kebodohan manusia.
Boleh dikata bahwa perang sesungguhnya adalah parade kebodohan manusia. Dimana ribuan nyawa dikorbankan, bangunan-bangunan dihancurkan, masa depan anak kecil dicerabut dan kebersamaan kekuarga dipisahkan. Perang adalah parade kebodohan manusia yang mulai lupa bahwa identitas utama mereka di dunia adalah sebagai manusia yang harusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Perang, adalah bukti nyata parade manusia yang tidak lagi beriman pada kemanusiaan.
Iman ke pada kemanusiaan menjadi penting di tengah maraknya kembali sentiment atas identitas yang berbeda. Kebencian menyeruak di mana-mana. Orang-orang dibunuh karena mereka berbeda. Hal yang menjadikan kita mempertanyakan kembali kemanusiaan kita. Atau jangan-jangan kita tidak lebih dari hewan yang berakal. Manusia adalah rational animal atau al-insanu hayawanun nathiq.
Dan meskipun dikaruniai akal yang digunakan melebihi penggunakan akal hewan-hewan lainnya, manusia masih saja gagal menggunakan akalnya dengan baik karena jiwa kebinatangan masih mendominasi dalam dirinya.
Wallahu A’lam bi Asshwwab.
Menyadari terbatasnya ruang bagi anak muda yang berbeda iman untuk berjumpa dan mendiskusikan gagasannya, Bersama Institute mencoba menginisiasi perjumpaan tersebut.
Bertempat di Gori Café, beberapa mahasiswa dan mahasiswi muslim dari Prodi Studi Agama-agama UIN Alauddin Makassar dan pemuda-pemudi Kristen dari Sekolah Tinggi Teologia (STT) INTIM hadir dan saling bertukar gagasan mereka terkait narasi perjumpaan iman di Indonesia.
Iwan Tumbade, salah seorang mahasiswa Kristen asal Poso yang hadir mengapreasi kegiatan ini. Baginya, ruang perjumpaan semacam ini penting untuk digalakkan.
https://www.fajarpendidikan.co.id/fasilitasi-perjumpaan-iman-bersama-institute-rangkul-mahasiswa-uin-dan-stt-intim/
Bertempat di Mau.Co Ruang, Bersama Institute for Peace and Goodness melaksanakan workshop literasi damai dengan tema “Anak Muda dan Perubahan”. Workshop yang dihadiri oleh mayoritas mahasiswa dari UIN ini menghadirkan dua orang pembicara, yakni Kurnia SAg dan Rahayu SAg.
Kurnia, salah seorang pembicara yang hadir dalam kegiatan ini menyebutan bahwa proses menulis adalah proses yang membutuhkan pembiasaan.
“Namun, proses ini harus dijalankan karena akan membantu kita dalam banyak hal. Olehnya itu, ruang-ruang untuk membangun semangat literasi perlu diperbanyak,” ujar alumni Studi Agama UINAM yang juga terpilih sebagai Awardee LPDP.
https://www.fajarpendidikan.co.id/bersama-institute-ajak-anak-muda-melek-literasi/
Berkat tulisan yang dikumpulkannya, lima mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama UIN Alaudin Makassar mendapatkan bantuan Pendidikan berupa biaya kuliah satu semester dari Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy Literacy.
Ke lima tulisan mahasiswa ini dianggap mendukung upaya dari Bersama Institute dalam mengkampanyekan pentingnya literasi beragama.
Pemberian bantuan pendidikan ini merupakan bentuk kerjasama antara Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar dan Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy. Ke lima awardee Bersama Scholarship tersebut adalah; Satriani, Al Malik, Muh Ramli N, Arifki dan Rahayu.
https://www.fajarpendidikan.co.id/lima-mahasiswa-saa-uin-alauddin-menjadi-penerima-awardee-bersama-scholarship-2022/
Ramadan menjadi ruang untuk saling mengenal iman yang berbeda. Hal itu yang berupaya dilakukan oleh Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacytitute for Peace and Goodness dengan mengadakan buka puasa lintas iman dengan tema; Interfaifh Gathering: Berbuka, Berbeda Bercerita.
Tema Berbuka, Berbeda, Bercerita dipilih untuk memberikan gambaran tentang bagaimana kegiatan ini dilaksanakan. Dalam prosesnya, mahasiswa dari iman yang berbeda ini dikelompokkan dalam beberapa grup dan diberikan beberapa tema yang akan menjadi bahan diskusi mereka.
https://www.fajarpendidikan.co.id/bersama-institute-perkuat-perjumpaan-iman-di-bulan-ramadhan-melalui-buka-puasa-lintas-iman/
Buka Puasa lintas iman yang dlaksanakan di Kedai Kopi Skopa, Ruko Citra Land ini dhadiri oleh mahasiswa perwakilan Sekolah Tinggi Teologia Intim Makassar dan juga Mahasiwa Prodi Studi Agama-Agama dan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Alauddin Makassar.
Bertempat di KOBA KopiBatas, Makassar, Bersama Institue mengadakan workshop literasi damai untuk generasi muda.
Workshop penulisan dengan tema “Yang Muda yang Menulis Damai untuk Dunia”, dihadiri oleh mahasiswa dan anak muda dari daerah Makassar dan Gowa.
Founder Bersama Institue, Syamsul Arif Galib menyebutkan bahwa kegiatan ini sengaja dilakukan untuk mengajak anak muda untuk mau aktif dalam mengampanyekan isu-isu perdamaian dan toleransi.
https://www.fajarpendidikan.co.id/bersama-institute-ajak-milenial-perkuat-literasi-damai/
Khoirul Anam, aktifis lintas iman yang juga penulis buku Best Seller, Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso, hadir sebagai pemateri dalam Kelas Menulis Kisah yang dilaksanakan oleh Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy.
“Menulis itu membuat kita bahagia,” ujar Anam saat mengawali Kelas Menulis Kisah yang dihadiri oleh mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Makassar itu.
Lebih lanjut, Anam yang hadir di Makassar dalam rangka diskusi bukunya tersebut mengingatkan bahwa menulis kisah sesungguhnya berangkat dari berbicara. Seorang yang menulis kisah harus mampu memilih diksi yang tepat dan juga fakta penting yang menarik untuk diceritakan ke pada pembaca.
https://www.fajarpendidikan.co.id/kelas-menulis-kisah-bersama-institute-hadirkan-penulis-best-seller-panglima-damai-poso/
Beberapa saat yang lalu, masih dalam rangkaian perayaan hari Toleransi Internasional, Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy melaksanakan Focus Group Discussion terkait Anak Muda, Perjumpaan Iman dan Literasi beragama yang bertempat di Rumah Kopi Plazzgozz, Makassar.
FGD yang dihadiri oleh anak muda dari kalangan mahasiswa tersebut mencoba menggali lebih dalam bagaimana isu toleransi dan perjumpaan iman yang terjadi di kalangan generasi milenial. Para peserta membagikan pengalaman mereka terkait pengalaman perjumpaan yang mereka pernah rasakan di lingkungan mereka.
Beberapa catatan yang ditemukan dalam FGD tersebut di antaranya adalah; mengkampanyekan semangat penghargaan atas perbedaan dan toleransi haruslah dilaksanakan dengan pelan-pelan. Menuduh seseorang intoleran hanya karena berbeda faham dengan kita bukanlah hal yang bijak dalam mengkampanyekan toleransi.
https://www.fajarpendidikan.co.id/perkuat-semangat-perjumpaan-bersama-institute-adakan-fgd-terkait-anak-muda-dan-perjumpaan-iman/
Sebanyak tiga mahasiswa Studi Agama-agama (SAA) UIN Alauddin Makassar mendapatkan bantuan pendidikan Bersama Scholarship tahap kedua. Ketiga mahasiswa tersebut adalah Widya Lestari, Reski S dan Risdayanti.
Ketiganya terpilih setelah tulisan yang mereka kirimkan sebagai salah satu prasayarat bantuan pendidikan ini, dianggap paling layak dan mewakili pesan yang selama ini disebarkan oleh Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy.
Ketiga mahasiswa ini, melengkapi dua mahasiswa SAA sebelumnya yang jugamenjadi penerima Bersama Scholarship tahap pertama yakni Firdayanti dan Nita Amriani.
Pemberian bantuan Pendidikan ini adalah bagian dari kelanjutan kerjasama antara Prodi Studi Agama-Agama UIN Alauddin dan Bersama Institute.
https://www.fajarpendidikan.co.id/tiga-mahasiswa-saa-uin-makassar-terima-bantuan-pendidikan-dari-bersama-institute/
Selamat untuk Firdayanti dan Nita Amriani, dua mahasiswi Studi Agama-agama UIN Alauddin Makassar yang berkesempatan menjadi bagian dari penerima Bersama Scholarship 2021 Batch Pertama.
Dua mahasiswi Studi Agama ini terpilih karena tulisan mereka terkait isu agama dan sosial, dianggap layak dan mendukung nilai keberagaman yang menjadi salah satu kajian dari Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy.
https://www.fajarpendidikan.co.id/bekal-tulisan-dua-mahasiswi-uin-alaudin-makassar-terima-bersama-scholarship-2021/
Ini hal yang menarik dan patut jadi contoh. SMA Plus Pembangunan Jaya Bintaro terus melakukan pengembangan baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Salah satu kegiatan tahunan yang menarik adalah Dialog Lintas Agama (DLA). Kegiatan ini tidak terlepas dari realitas SMA Plus Pembangunan Jaya yang sangat multikultur.
http://smapjbintaro.sch.id/index.php/latest-news/264-dialog-lintas-agama-2021
Dialog Lintas Agama 2021 Sekolah Menengah Atas Terbaik
Hadirnya bulan suci Ramadan, juga ikut dimaknai oleh mereka yang non-muslim. Adalah Ketut Ayu Lestari. Ayu adalah seorang perawat yang berasal dari salah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Timur. Dia beragama Hindu. Bagi Ayu, Ramadan menjadi momen untuk mempertebal rasa persaudaraan dengan teman-temannya yang beragama Islam. Kebersamaan dan solidaritas tak cuma dilakukan di lingkup kerja, tapi juga di kontrakan, tempat dia tinggal. Hal yang dilakukannya terhadap mereka yang berpuasa bukan lah hal mewah atau sesuatu yang besar. Namun jelas, itu bermakna. Dengan ringan tangan, Ayu kerap menyiapkan santapan sahur dan berbuka puasa untuk teman-temannya.
https://www.validnews.id/Ramadan-Dan-Kehangatan-Lintas-Iman-eOu
Ramadan Dan Kehangatan Lintas Iman Realitas guyub dan rukunnya warga bangsa di bulan Ramadan sejatinya kerap terlihat dimana-mana.
Click here to claim your Sponsored Listing.
Contact the organization
Telephone
Website
Address
Sungguminasa
92114
Jalan Bonto Tangga No. 32. Kel. Paccinongan Kec. Somba Opu Kab. Gowa
Sungguminasa, 92111
PROFIL LAZISWAF UKHUWAH MUSLIMIN Laziswaf Ukhuwah Muslimin didirikan oleh Yayasan Ukhuwah Muslimin Pusat Sulawesi Selatan untuk menghimpun dana zakat, infak, dan sedekah .
Sungguminasa
GMBI itu sendiri adalah Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia. GMBI sendiri mempunyai motto “NKRI adalah Harga Mati"
Sungguminasa, 92111
Griya Madani Gowa Hunian Islami, berkualitas, Aman & Nyaman
Jalan Marzuki Dg Laja No 19A Dusun Tangalla Desa Kanjilo Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa Provinsi
Sungguminasa
DEWAN PIMPINAN CABANG KABUPATEN GOWA BADAN ANTI NARKOBA - LAI
BTN Nusa Tamarunang
Sungguminasa
Perumahan murah subsidi
Sungguminasa, 92114
Akun Official Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Gowa
Jln. Tamangapa Raya III No. 103 B
Sungguminasa
Alhamdulillah yayasan pendidikan Islam AL-Muhsinin ikut serta dalam melengkapi usaha dalam memperbaiki generasi umat Islam agar mereka kelak mampu bersaing dalam kehidupan dimasa y...
Jalan Sultan Alauddin No. 293. 3rd Floor
Sungguminasa
Yayasan Pendidikan Gunung Sari atau disingkat YPGS di didirikan sejak 1988 di kota Makassar. saat ini menjadi badan penyelenggara beberapa tingkat pendidikan yaitu Sekolah Tinggi I...