Best video
Best Video official
Anda tidak akan menyesal s**a foto ini β€οΈ
Kelapa zaman now
Sebuah cerita tentang batu dan hubungannya dengan dunia lain dan pecinta peri, episode pertama
Awal dari cerita:
Kisah dimulai dengan Ali Al-Hajar, dahulu ketika ia masih syuting film Magnawaty di daerah yang bernama Bashla, dan ini di samping seorang pria yang meninggal yang tenggelam sedikit, dan Ali Al-Hajar mengatakan bahwa selama periode ini ia sangat bahagia dan bahagia Dunia baik-baik saja dengan mereka, tidak ada masalah, dan dia bersama rekan-rekan aktornya duduk di rumah yang sama
Setiap hari mereka bermalam bersama dalam satu ruangan, diantara mereka sampai satu hari, mereka harus selesai syuting jam dua tiga malam. Dan setelah selesai, kali ini bukan untuk salah satu rekan kerja nya. Lelah dan lelah setelah syuting
Dia masuk ke tempat tidurnya setiap saat agar nyaman. Begitu dia masuk dan mengunci pintu, dia teringat bahwa pintu itu dibuka selama setahun. Dan ada yg membukanya. Ali bangun di tempat tidur dan melihat siapa yang membuka pintu
Bahwa tidak ada siapa-siapa dan pintu tertutup sedikit sendirian. Awalnya saya berpikir bahwa mungkin salah satu temannya datang untuk melihatnya benar atau salah. Dan ketika dia menemukan dia tidur, dia bilang untuk mengunci pintu. Jadi dia tidak berpikir dia mencoba tidur
Tiba-tiba dia merasa ada seseorang yang datang dan duduk disampingnya di tempat tidur saat dia tidur. Perasaan itu mulai bertambah dan ia mulai merasakan napas seseorang di punggungnya. Maksudku, aku yakin seseorang sedang duduk
Tidak berakhir dengan persiapan untuknya dan karena begitu banyak ketakutan, dia tidak bisa melihat ke belakang dan menutup matanya, seolah-olah dia tidak mendengar apa-apa dan tidak merasa perlu. Dan siapa yang lelah akan tidur. Tersangka hari ini dia bermimpi bahwa dia sedang berhubungan dengan seorang wanita.
Dan yang ini bukan manusia normal. Sampai-sampai ketika saya bangun, saya yakin bahwa ini bukan hanya mimpi, saya merasa ini benar-benar terjadi. Mulai saat ini, kehidupan di atas batu telah benar-benar berubah dan terbalik.
Ia mulai memimpikan mimpi-mimpi ini terus-menerus dan mulai menegaskan bahwa ada kebutuhan aneh, dan ditambah lagi kebutuhan pribadinya mulai hilang satu persatu. Celana dalamnya, dan apa pun yang dia gunakan, dia tidak menemukannya
Awalnya saya berpikir bahwa itu mungkin untuk menempatkan mereka di suatu tempat dan melupakan mereka atau mengabaikan mereka, dan ini yang saya katakan. Namun seiring berjalannya waktu kebutuhan mulai tumbuh besar tangannya dan menghilang sekaligus. Ahhh pakaian dalam itu ada di tanganku
Itu ada di tanganmu. Dan aku membawanya ke tanganku. Oh, tentu saja. Aku tidak menemukannya di tanganku. Setelah apa yang dia katakan tentang batu-batu ini, dia berhenti berbicara dan mengatakan bahwa ada hal-hal yang sangat sulit yang dia alami. Dia tidak bisa berbicara, dan dia menolak untuk menjelaskan lebih rinci, dan dia mengatakan bahwa dia sangat menderita
Tahan lama. Tahap tersulit dalam kehidupan Ali adalah tahap perkawinan. Dia bilang dia punya suami bernama George dan dia sangat mencintainya. Dan dia selalu pergi
Begini tanggapan Aril dan rossa
Anda tidak akan menyesal menyukai gambar ini π·
π· penuh makna
Kreatif melukis menyerupai
hewan πΆπ»π°ππ¦©π¦ di tangan sangat luar biasa β€οΈππ―
Coba perhatikan gambar ini
Same energy
Kenapa tidak seperti Ronaldo dan Messi ππ
Kreatif menggambar hewan di tangan luar biasa π―π―π―
Anda tidak akan menyesal menyukai gambar ini ππ
Cerita nya lagi pantai ayang pulang kerja lewat google maps ehhh ntah kenapa lokasinya engga gerak malah makin mendekati makam keramat itu
Rumah pohon suku koroway
ini Keajaiban dunia yang selanjutnya..
Film Pesugihan 1
Bener ternyata
Paku emas
π¦: tolong iciboss
Siapapun yang menulisnya, Terimakasih karena telah mampu membuat saya terharu... π’π’π₯π₯πππ
Mak......
Sudah dua tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh dan berusia tujuh puluh tahun lebih. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya mas Ardi, kakak tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi gak lama karena istrinya keberatan dengan emak yang makin hari makin rewel dan banyak maunya.
"Mbakmu kadang sudah nahan hati dengan kelakuan emak, Dik, cerewetnya minta ampun," keluh mas Ardi ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu menurut pada bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan saja, Dik, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, mas, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah tiada."
Aku bergeming, benar juga.
***
Hari Senin pagi, suamiku masih dinas di luar kota, kebetulan yang bantu di rumah terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam delapan pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah tiga hari begadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak tahu, Mak, tanya Bi Inah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Inah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar. Waktu semakin bergerak meninggalkan angka tujuh, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu lima menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak, aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal bisa gawat. Emak jangan buat masalah d**g, untuk apa coba nanya cangkul sekarang? Wajar saja kalau istri mas Ardi gak betah sama emak kalau rewel kayak gini." Aku beranjak meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran ada batasnya. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu d**g sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop, tapi nenek s**a. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku? Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah, ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu. Tapi ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan.
Baru dua tahun emak di rumah, emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan, minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. Tapi aku, anak yang telah sembilan bulan dikandungnya, dua tahun disusui, belasan tahun dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap menyusahkan. Begitu mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak.
***
Aku segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar emak. Persetan dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf emak. Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun ini gak dapat bonus. Itu gak penting, hati emak lebih berharga dari apapun, tak kan kubiarkan retak dan hancur.
Kedua mataku menyisir kamar emak yang kosong. Kemana emak? Aku berlari ke dapur.
"Mana emak, Bi?" tanyaku pada Bi Inah yang sedang mencuci piring.
"Di halaman belakang, Bu, entah lagi apa tapi kayaknya dari tadi ngucek-ngucek mata terus kayak nahan nangis gitu."
Segera aku ke halaman belakang rumah dimana banyak tanaman emak tumbuh subur. Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku menghampirinya.
"Lagi apa, Mak?" tanyaku.
Emak menoleh dan tersenyum. "Gak ngantor?"
Aku menggeleng, "gak enak badan," bohongku.
"Emak tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini. Semalam emak dengar kamu batuk gak berhenti jadi emak mau buat wedang jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi emak buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil.
Aku bergeming.
"Mak gak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul."
Ah bodoh, apa ini, dadaku kian sesak.
"Untung ketemu pisau kecil ini, peninggalan bapakmu dulu, ini emak sudah dapat banyak jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya. Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya emak antar ke kamarmu. "
Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah syetan merasuki diri, betapa rapuh pertahanan diri, durhakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini.
Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus emak. "Maafkan aku, Mak, maafkan, aku salah sudah membentak emak. "
Emak memegang pundakku dan tersenyum. "Gak apa." Emak kembali memelukku dan menepuk pundakku. "Istirahat lah, kamu lelah," bisik emak.
Setiap orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya walau hanya hitungan tahun.
Itulah ibuku ibumu ibu kita
Ingat mak,karena belum sempat membahagiakan beliauπππ
Siapapun yang menulisnya, Terimakasih karena telah mampu membuat saya terharu... π’π’π₯π₯πππ
Mak.......
Sudah dua tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh dan berusia tujuh puluh tahun lebih. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya mas Ardi, kakak tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi gak lama karena istrinya keberatan dengan emak yang makin hari makin rewel dan banyak maunya.
"Mbakmu kadang sudah nahan hati dengan kelakuan emak, Dik, cerewetnya minta ampun," keluh mas Ardi ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu menurut pada bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan saja, Dik, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, mas, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah tiada."
Aku bergeming, benar juga.
***
Hari Senin pagi, suamiku masih dinas di luar kota, kebetulan yang bantu di rumah terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam delapan pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah tiga hari begadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak tahu, Mak, tanya Bi Inah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Inah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar. Waktu semakin bergerak meninggalkan angka tujuh, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu lima menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak, aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal bisa gawat. Emak jangan buat masalah d**g, untuk apa coba nanya cangkul sekarang? Wajar saja kalau istri mas Ardi gak betah sama emak kalau rewel kayak gini." Aku beranjak meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran ada batasnya. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu d**g sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop, tapi nenek s**a. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku? Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah, ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa ke kantor tepat waktu. Tapi ada yang mengganjal di hati, sebuah rasa berjudul penyesalan.
Baru dua tahun emak di rumah, emak pun tak sakit-sakitan, masih bisa makan, minum dan membersihkan diri sendiri, hanya sedikit rewel saja. Tapi aku, anak yang telah sembilan bulan dikandungnya, dua tahun disusui, belasan tahun dirawat dan disekolahkan hingga akhirnya menikah pun masih tetap menyusahkan. Begitu mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tubuhku bergetar dengan napas yang tersendat, tumpah sudah air mata ini. Emak.
***
Aku segera memarkirkan mobil di garasi dan berlari ke kamar emak. Persetan dengan rapat dan persentasi, aku harus segera memohon maaf emak. Paling-paling pekerjaanku akan diambil alih oleh teman kantor dan tahun ini gak dapat bonus. Itu gak penting, hati emak lebih berharga dari apapun, tak kan kubiarkan retak dan hancur.
Kedua mataku menyisir kamar emak yang kosong. Kemana emak? Aku berlari ke dapur.
"Mana emak, Bi?" tanyaku pada Bi Inah yang sedang mencuci piring.
"Di halaman belakang, Bu, entah lagi apa tapi kayaknya dari tadi ngucek-ngucek mata terus kayak nahan nangis gitu."
Segera aku ke halaman belakang rumah dimana banyak tanaman emak tumbuh subur. Emak sedang menggali sesuatu dengan pisau kecil ketika aku menghampirinya.
"Lagi apa, Mak?" tanyaku.
Emak menoleh dan tersenyum. "Gak ngantor?"
Aku menggeleng, "gak enak badan," bohongku.
"Emak tadi mau minta cangkul buru-buru karena mau gali jahe merah ini. Semalam emak dengar kamu batuk gak berhenti jadi emak mau buat wedang jahe biar bisa kamu minum sebelum berangkat kerja makanya tadi emak buru-buru." Emak masih menggali tanah dengan pisau kecil.
Aku bergeming.
"Mak gak berani pakai pisau dapur kamu, kan pisau mahal nanti rusak kalau kena tanah makanya tadi cari cangkul."
Ah bodoh, apa ini, dadaku kian sesak.
"Untung ketemu pisau kecil ini, peninggalan bapakmu dulu, ini emak sudah dapat banyak jahenya." Emak menunjukkan lima ruas jahe merah di telapak tangannya. Ia beranjak dan tersenyum. "Kamu istirahatlah, nanti wedang jahenya emak antar ke kamarmu. "
Ya Allah, ya Allah, berkali aku menyebut nama-Nya. Duhai hati alangkah mudah syetan merasuki diri, betapa rapuh pertahanan diri, durhakalah aku yang telah melukai hati wanita baik ini.
Aku segera berlari dan memeluk tubuh kurus emak. "Maafkan aku, Mak, maafkan, aku salah sudah membentak emak. "
Emak memegang pundakku dan tersenyum. "Gak apa." Emak kembali memelukku dan menepuk pundakku. "Istirahat lah, kamu lelah," bisik emak.
Setiap orang tua akan sangat bahagia menghabiskan waktu merawat anaknya namun sebaliknya tak semua anak memiliki ketulusan dalam merawat orang tuanya walau hanya hitungan tahun.
Itulah ibuku ibumu ibu kita
Ingat mak,karena belum sempat membahagiakan beliauπππ
Kenapa foto ini tidak ramai seperti Ronaldo dan Messi
INI ADALAH RAJA JAWA
YANG PERNAH MEMIMPIN NUSANTARA !!!
LIKE DAN SHARE SUPAYA BERMANFAAT
Click here to claim your Sponsored Listing.
Videos (show all)
Category
Telephone
Address
Tangerang
Jalan Kedond**g Rt 01 Rw 05 No 28
Tangerang, 15151
editorial, portrait and food photographer
BIntaro
Tangerang, 15227
JUST CALL US & WE WILL COME TO YOU: 0816633476 WA/CALL Starting from Rp. 2 jt
28 Residence F8, Jalan Pahlawan No. 28
Tangerang, 15413
For further information, please e-mail to : [email protected]
Tangerang, 15832
Product Photography Architecture Photography Commercial Photography Art Reproduction Photo
Jalan Kertha Dalem Sari II No. 5D Sidakarya, Denpasar Selatan, Denpasar/
Tangerang, 80224
Tangerang
Hai kak, selamat datang di halaman kami aprilphotografy.id disini kami menyediakan jasa foto lamaran
Tangerang
Pejuang semua janggan menjerah dan tetap semangat berkarya ππ»ππΊ